Judul: Berbagi Info Seputar Dari Penuntun Unta Hingga Syekh Pelayan Haji Full Update Terbaru
link: Dari Penuntun Unta Hingga Syekh Pelayan Haji
Berbagi Dari Penuntun Unta Hingga Syekh Pelayan Haji Terbaru dan Terlengkap 2017
"Mengapa Arab Saudi baru belakangan hari saja menjadi perhatian dunia? Mengapa dari dulu negara ini juga tidak menjadi objek kolonialisasi barat, seperti halnya Nigeria, Al Jazair, Mesir, dan negara-negara Afrika Utara atau Arab lainnya?’’Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).
Pertanyaan nakal ini dari seorang pengurus biro travel ini jelas membuat terkejut. Pertanyaan sangat mendasar karena negara tersebut memang baru dalam empat dekade terakhir menyedot perhatian dunia. Dan memanh, faktanya semenjak negara itu didirkan pada 1932 sampai awal 1970-an, Arab Suadi bukanlah negara yang dikenal. Nama Arab Saudi kalah kondang dengan Makkah dan Madinah yang semenjak dahulu kala menjadi pusat perhatian Muslim dari berbagai belahan dunia untuk melaksanakan ibadah haji.
Lalu apa jawabannya? Ternyata sederhana sekali. Dari semenjak dahulu hingga meledaknya harga minyak atau terkenal dengan ‘oil bom’ yang terjadi pada tahun 1970-an itu, sampai saat itu negara tersebut hidup dalam susana serba prihatin. Warganya masih menjalani kebiasaan hidup seperti secara turun temurun dari nenek moyangnya. Misalnya, orang Madinah menjadi petani dan orang Makkah berdagang.
Istilahnya bila sampai tahun 1970 orang di Jakarta sudah banyak naik mobil,saat itu orang di Makkah masih naik onta. Namun, pada 2000 ketika orang di Jakarta kebanyakan naik motor, orang di Makkah tak ada lagi yang naik unta. Bahkan, mereka ‘melompat kelas’ karena tak hanya sekedar naik mobil saja, tapi sudah naik mobil yang mewah. Bayangkan, hanya butuh satu generasi untuk menyulap negara tandus menjadi negara gemerlap dan kaya raya dan makmur!
"Sampai sebelum tahun 1970-an, warga Arab hidup sederhana. Warga Madinah hidup bertani dan warga Makkah menjadi pedagang. Bila musim haji mereka jadi pelayan bagi jamaah haji. Penduduknya banyak buta huruf. Sekolah tak menjadi hal penting bagi mereka. Pokoknya menyedihkanlah,’’ kata Ketua Umum HIMPUH Baluki Ahmad ketika mencoba menjawab ‘pertanyaan nakal’ dengan menceritakan situasi Makkah hingga masa awal masa ‘booming mimual’ itu.
Menurut Baluki, suasana kota-kota di Arab sampai akhir 1970-an masih sangat sederhana. Masjidil Haram, Masjid Nabawi, juga belum banyak berubah. Kedua masjid ini masih merupakan bangunan peninggalan Kekhalifahan Otoman Turki. Daya tampungnya pun terbatas, berbeda sekali dengan situasi sekarang yang berubah menjadi bangunan masjid luas dan megah.
Kendaraan unta yang digunakan untuk mengangkut jamaah haji ke Arafah dari kota Makkah pada tahun 1935.
Bagi warga Arab Saudi, semenjak dahulu kedatangan jamaah haji adalah merupakan berkah. Sewaktu pergi haji masih menggunakan kapal laut, setiap kali musim haji datang, orang-orang Arab pun berbondong-bondong pergi ke pelabuhan Jeddah untuk menyambut kedatangan para peziarah. Tujuannya pun hanya satu, mencari uang dengan menjadi pelayan bagi jamaah haji terseut. Ada yang menjadi penunjuk jalan atau penuntun unta, juru masak, hingga penyedia perumahan.
"Khusus kepada jamaah haji asal Nusantara, di zaman dahulu itu orang Arab sangat menghormatinya. Mengapa demikian? Ini karena mereka pun tahu jamaah haji asal Nusantara itu selain jelas adalah orang kaya, para jamaah calon haji itu juga adalah orang berilmu. Ini berbeda dengan mereka yang rata-rata masih tuna pendidikan,’’ kata Baluki.
Kenyataan itu pun terbukti. Semenjak ratusan silam, justru orang-orang asal Nusantaralah yang mengajari warga Arab mengenal ilmu dan isi kandungan ajaran Islam. Maka menjadi tak mengherankan bila kemudian muncul berbagai ulama kondang dari berbagai daerah di Nusantara (Indonesia) menjadi guru besar atau Imam di Masjidil Haram. Para ulama besar ini yang semuanya tinggal di Makkah itu berasal dari Aceh, Minangkabau, Palembang, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Banjarmasin, dan Makassar. Mereka itu menjadi sumber ilmu bagi orang Arab.
“Bagi jamaah haji asal Indoensia sebelum ke Makkah dahulu sudah ada nasihat seperti ini: Kalau ingin mencari ilmu saja pergilah ke Mesir. Kalau ingin beribadah sekaligus beribadah maka pergilah ke Makkah. Jadi orang berhaji di zaman dahulu selain beribadah mereka juga hendak menuntut ilmu,’’ ujarnya.
Baluki mengatakan, bila diperhatikan secara cermat, terlihat sangat jelas bila minat orang Arab terhadap ilmu memang baru muncul dalam beberapa waktu terakhir seiring berubahnya negara itu dari negara miskin menjadi negara kaya raya karena komoditas minyaknya yang luar biasa berlimpah. Sebelum era itu, mereka tetap lebih memilih menjadi pelayan haji dari pada pergi merantau ke luar negaranya untuk menuntut ilmu.
Sayangnya, meski banyak orang Arab yang menjadi pelayanan jamaah haji bukan orang yang mempunyai limpahan dan kedalam ilm, para jamaah secara asal Nusantara (dulu disebut orang ‘Jawi’) secara rendah hati member penghormatan yang cukup kepada mereka. Akibatnya, meski pelayanan jamaah haji mereka biasa saja, bahkan kerapkali kualitasnya buruk, mereka tetap saja dipanggil dengan sebutan yang sangat mentereng, yakni ‘Syaikh’. Sebutan ini jelas luar biasa karena mengandaikan sang pemiliknya adalah orang sangat terhormat karena mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
"Saya tahu persis seperti apa sosok kualitas diri dari para pelayanan jamaah haji di masa lalu yang dipanggil syaikh itu. Mereka kebanyakan orang awam Arab biasa. Mereka hanya mengurus haji karena semenjak nenek moyangnya mereka sudah menyediakan perumahan untuk tempat tinggal para jamaah selama di tanah suci. Bahkan saya banyak pengalaman langsung bagaimana kualitas moral dan ibadah orang Arab yang kerap dipanggail syaikh oleh para jamaah haji asal Indonesia,’’ kata Baluki
Memang, berbeda dengan zaman sekarang, kepergian orang Nusantara ke Makkah pada zaman dahulu ada satu nilai tambah yang kini hilang. Di zaman itu niat kepergian mereka ke Makkah selain untuk menyempurnakan rukun Islam, perjalanan itu juga dimaksudkan untuk mencari ilmu. Banyak sekali dari jamaah Indonesia menunda kepulangan dalam waktu beberapa lama dengan tinggal di Makkah, hanya karena ingin belajar kepada para ulama yang ada di sana.
Tentu saja para jamaah haji saat itu datang untuk berguru kepada para ulama ‘Jawi’ (Nusantara) yang saat itu menjadi Imam di Masjidil Haram. Dalam kurun ratusan tahun, ada berbagai sosok ulama yang selalu menjadi rujukan untuk menuntut Ilmu di Makkah itu. Mereka adaah Syaikh Abdul Samad al-Palembani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Juned al-Betawi, dan banyak ulama lainnya.
Dan, tak hanya mengajarkan ilmu saja, para ulama juga meniupkan ruh semangat perlawanan kebangsaan kepada kolonial. Ulama besar Aceh, Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu (lahir 1836 di Piddie Aceh), misalnya menulis ‘Hikayat Prang Sabi’ dalam perjalanan pulang Makkah untuk menunaikan haji dan sekaligus menuntut ilmu kepada para ulama Makkah tersebut.
Kafilah haji di abad ke-13
Fenomena banyaknya orang berhaji sekaligus menuntut ilmu pada ulama asal Nusantara yang bermukim di Makkah itu menjadi catatan khusus Snocuk Hurgronye yang sempat tinggal beberapa bulan di Makkah. Menurut mereka, di Makkah malah sudah ada kelompok besar orang ‘Jawi’. Mereka selain mengajarkan ilmu agama dengan bahasa Arab mereka juga menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantarnya.
Menurut Snocuk, populasi komunitas ‘Jawi’ di Makkah cukup dominan. Banyak di antara mereka sudah punya tempat tinggal tersendiri yang leatknya di sekitar Masjidil Haram. Mereka awalnya datang untuk berhaji dan menuntu ilmu. Di Makkah itulah mereka saling bertukar pikiran mengenai situasi umat Islam di Nusantara dan juga bertukar pikiran mengenai situasi yang tengah di lamai umat Islam di kancah dunia ketika mereka berkumpul dengan jamaah haji yang datang dari berbagai negara lainnya.
Menyadari situasi tersebut, Snouck yang merupakan penasihat pemerintah kolonial Belanda kemudian mendapatkan kesimpulan, bila di Makkah itu merupakan tempat penyemaian semangat ‘jihad’ terhadap kolononial barat yang saat itu menguasai tanah atau wilayah Islam, dalam hal ini Hindia Belanda.
Tingginya gairah keilmuan itulah yang dirasakan para jamaah haji Indonesia hingga massa datangnya ‘booming oil’ atau sebelum pergi haji menjadi mudah karena semakin modernnya angkutan transportasi.
Alhasi, meski memanggil para pelayanan jamaah hajinya dengan sebutan syaikh, sebenarnya para jamaah haji asal Nusantara juga paham bila itu hanya sekedar sebutan kehormatan biasa saja. Sebab, mereka pun paham secara sepenuh bila sebutan ‘syaikh’ yang sebenarnya adalah untuk orang berilmu yang saat itu mahkotamya berada di sosok para ‘ulama Jawi’ yang tinggal di Makkah.
Jika artikel ini bermanfaat, bagikan ke orang terdekatmu. Bagikan informasi bermanfaat juga termasuk amal ho.... Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya @Tahukah.Anda.News
Itulah sedikit Artikel Dari Penuntun Unta Hingga Syekh Pelayan Haji terbaru dari kami
Semoga artikel Dari Penuntun Unta Hingga Syekh Pelayan Haji yang saya posting kali ini, bisa memberi informasi untuk anda semua yang menyukai info aplikasi ponsel. jangan lupa baca juga artikel-artikel lain dari kami.
Terima kasih Anda baru saja membaca Dari Penuntun Unta Hingga Syekh Pelayan Haji